Skip to main content

Mewaspadai Bubble Startup Digital


Seiring dengan meningkatnya penggunaaan internet, bisnis berbasis digital pun mengalami booming di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Hal ini tak mengherankan karena banyak startup yang meraih kepopuleran dalam jangka waktu relatif singkat dan memperoleh investasi besar-besaran yang membuat kita tercengang dan terheran-heran. 

Fenomena ini menimbulkan orang kaya muda di berbagai penjuru dunia, seperti misalnya CEO Snap Evan Spiegel yang pada usia 26 tahun sudah mempunyai kekayaan puluhan triliun ketika
perusahaannya melantai di bursa Amerika. Yang paling fenomenal mungkin kisah sukses Jack Ma dengan Alibaba yang melambungkan namanya sebagai salah satu orang terkaya di China.

Fenomena ini bagi saya pribadi sangat menarik, apakah investasi pada startup tersebut merupakan hal yang wajar? Kalau kita menggunakan cara pandang sebagai investor, tentu investasi harus dibandingkan pada nilai dari perusahaan tersebut, baik nilai saat ini maupun prospek ke depannya. Tentu saya tidak dapat menilai dengan pasti karena saya tidak mempunyai data berupa angka-angka dari perusahaan startup tersebut.

Tapi, analisa tidak hanya dapat dilakukan dengan melihat angka-angka melainkan juga pada sisi bisnis dari perusahaan tersebut dan juga common sense yang sederhana. Secara mudah dapat kita ketahui bahwa banyak terjadi startup yang melakukan “bakar duit” karena selama operasional terus menerus mengeluarkan cash dan biaya untuk promosi dalam rangka menggaet user. Sementara cash inflow atau pendapatan yang didapat tidak seberapa.

Padahal kita tahu bahwa bisnis yang baik adalah bisnis yang menghasilkan keuntungan dan tercermin dalam cash flow perusahaan. Tapi tentu saja para investor tersebut bukan orang yang ceroboh bukan? Ya, salah satu jawaban mengapa mereka berani untuk melakukan investasi besar-besaran adalah adanya potensi pertumbuhan dan keuntungan di masa mendatang. Mimpi bahwa investasi mereka dapat menjadi The Next Alibaba menjadi salah satu alasan di balik investasi besar-besaran tersebut.

Masalahnya, menuju pada tahap tersebut bukan hal yang mudah. Perusahaan harus menghadapi tantangan dari startup pesaing yang juga bermodal kuat, sehingga tentu harus beradu marathon, nafas (modal) siapa yang paling kuat untuk dapat terus bertahan. Setelah melewati masa tertentu pun, startup juga tidak otomatis dapat mencatat untung. Jadi, peluang untuk dapat meraih sukses seperti Alibaba tentu tidak mudah. Nah, bagi para investor yang berinvestasi berdasarkan pada potensi di masa mendatang, tentu hal ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kerugian yang besar.

Jangan sampai pemodal tersebut terlena dan berinvestasi di startup hanya mengikuti tren atau kondisi pasar yang sedang booming. Bila itu dilakukan, maka dikhawatirkan akan terjadi bubble di sector ekonomi digital. Nah sampai di sini mungkin Anda masih bingung, apakah hal ini penting bagi kita masyarakat awam? Bukankah selama kita dapat memanfaatkan teknologi dari startup tersebut harusnya sudah cukup? Kalau berpikir secara sederhana iya, tapi startup bukan hanya mengenai posisi kita sebagai pengguna tapi juga mengenai banyaknya lapangan kerja yang terlibat di dalamnya.

Bila terjadi bubble pada perusahaan teknonlogi akibat perusahaan tersebut tidak untung, apakah kira-kira kemudahan yang ditawarkan ke kita dapat terus disediakan? Pada suatu saat tentu perusahaan yang terus-menerus rugi akan mengubah cara kerjanya atau bahkan mungkin tutup, nah kita sebagai pengguna yang banyak mendapatkan kemudahan tentu akan kaget dengan hal tersebut. Bagi investor, dana yang diinvestasikan tentu menguap percuma, padahal bila dana tersebut dimasukan ke bidang lain yang bertahan lama, bisa jadi memberi efek yang lebih positif bagi masyarakat.

Padahal kita tahu, disrupsi ekonomi digital yang dimotori oleh para startup tidak hanya menciptakan lapangan kerja baru tapi juga menggerus lapangan kerja tradisional seperti misalnya toko ritel, travel agent tradisional, maupun transportasi umum konvensional. Efek yang ditimbulkan bukan hanya pada sektor yang bersangkutan, tapi juga sektor penunjang lainnya. Jangan sampai lapangan kerja tradisional sudah terlanjur tergerus, namun startup ternyata tidak dapat bertahan lama sehingga tidak dapat memberikan pengganti lapangan pekerjaan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Karena itu, penting diingat bahwa menilai bisnis startup teknologi tidak jauh berbeda dengan menilai bisnis pada umumnya. Jangan terlalu berlebihan dan terbuai euforia, tapi fokuslah pada nilai. Kita semua hendaknya menyadari bahwa perkembangan startup sebagai penggerak ekonomi digital bukan saja harus cepat dan besar-besaran tapi juga harus mempertimbangkan konsisten. Tujuannya tentu agar dapat memberikan kontribusi yang nyata secara berkelanjutan bagi perekonomian secara keseluruhan. Dengan demikian perusahaan startup dapat terus berkembang dan bertahan serta memberi nilai tambah bagi investor dan juga masyarakat luas.

Comments

Popular posts from this blog

Arti YoY, QoQ, MoM, dan Ytd

Kunci untuk dapat menganalisa dengan baik salah satunya adalah denan mengetahui istilah-istilah yang terdapat dalam penyajian data keuangan. Selain mengenai rasio ataupun akun-akun dalam laporan laba rugi, yang tidak kalah penting adalah untuk mengetahui perbandingan kinerja saat ini dengan kinerja sebelumnya. Bila salah memahami arti istilah ini, maka bisa saja muncul persepsi yang salah terhadap kinerja perusahaan. Nah dalam melakukan perbandingan dengan periode sebelumnya, sering dijumpai istilah seperti yoy, qoq, mom, dan juga ytd.

Arti Cum Date, Ex Date, dan Distribution Date

Bagi Anda yang tertarik untuk mendapatkan penghasilan secara rutin dari dividen seperti pembahasan pada artikel ini , maka tentu harus memahami istilah-istilah yang berkaitan dengan dividen sehingga dapat melakukan keputusan investasi yang tepat. Pada saat suatu perusahaan mengumumkan pembagian dividen, ada beberapa istilah yang sering muncul, yaitu dividen final/interim, cum dan ex date, serta distribution date.  Istilah pertama yaitu dividen final adalah dividen yang dibagikan setelah satu tahun buku, sementara

Penurunan pada Saham KBLI dan LPPF

Pada Jumat kemarin, IHSG mengalami koreksi yang tidak terlalu tajam. Meski demikian, ada saham saya yaitu KBLI mengalami penurunan yang cukup dalam yaitu dari pembukaan 422 hingga sempat menyentuh harga 372 sebelum kemudian ditutup di 402. Selain KBLI, saham lain yang juga turun cukup banyak adalah LPPF yang turun sekitar 3%. Penurunan yang terjadi pada KBLI dan LPPF sudah terjadi beberapa hari belakangan ini. Tentu saja melihat harga yang turun dan otomatis portofolio juga ikut turun tentu sedikit menimbulkan rasa kurang nyaman. Meski demikian, dalam kondisi inilah mentalitas dalam berinvestasi diuji. Apakah saya masih dapat berpikir dengan jernih dan objektif dalam menyikapi penurunan tersebut. Jadi tulisan ini sebagai sharing dan juga catatan pribadi saya dalam menghadapi kondisi tersebut.